Sejatinya, kekayaan alam (SDA) yang melimpah dari Sabang sampai Merauke, berbanding lurus dengan kekayaan dan potensi di balik Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dimiliki Indonesia.
Betapa tidak. UMKM dengan segala jenisnya mulai dari produk handicrafts, furniture, fashion, rempah, hingga kuliner, telah berkontribusi terhadap PDB hingga mencapai 60,51% atau sekitar Rp9,580 triliun dan mampu “mempekerjakan” penduduk Indonesia hingga 97% atau sebanyak 120,59 juta orang.
Catatan Kemenkop dan UMKM tahun 2021 menyebutkan bahwa UMKM telah menggerakkan 99% perekonomian Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa UMKM sangat kaya dan menyimpan potensi menentukan masa depan Indonesia.
Meski demikian, sama halnya dengan SDA di bumi Nusantara, jikalau tidak diolah dan dikembangkan secara seksama, kreatif, dan inovatif, UMKM Indonesia pun bisa kehilangan peluang. Bahkan, bisa kehilangan “taringnya” dalam menghadapi tantangan zaman (persaingan bisnis dunia).
Pasalnya, meski di dalam negeri UMKM menjadi ujung tombak perekonomian rakyat, namun di tingkat internasional, partisipasi UMKM Indonesia dalam Global Value Chain (GVC) hingga kini baru mencapai 4,1 persen dari jumlah unit usaha.
Partisipasi GVC Indonesia masih tertinggal dengan sejumlah negara tetangga seperti Malaysia yang (46,2 persen), Thailand (29,6 persen), Vietnam (20,1 persen), dan Filipina (21,4 persen). Nilai serap juga masih dinilai rendah, dari 65 ribu jenis produk dengan nilai impor USD 220 juta.
Gambaran singkat tentang peluang dan tantangan UMKM tersebut menjadi salah satu sorotan penting dalam acara webinar bertajuk “Berburu Rupiah ke Negeri Kanguru”, Sabtu (2/3/24).
Webinar yang digelar netralnews.com (NNC) ini menghadirkan pemateri handal antara lain Erik Hidayat, (Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia atau HIPPI), Prof Kumba Digdowiseso PHD (Guru Besar Universitas Nasional), dan Alicia Meinar Martino (Culinary Enterpreneur, Chef & Owner Sendok Garpu Restaurant Brisbane, sekaligus Perwakilan Diaspora yang sukses dengan UMKM-nya di Australia).
Webinar diselenggarakan NNC, bekerja sama dengan Pusat Studi Australia atau Center For Australian Studies (CFAS) dan Chappy Hakim Institute, serta didukung oleh Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN, Garuda Indonesia, JNE, Lakuemas, dan Alfamart.
Webinar ini ternyata mampu menghasilkan sejumlah solusi nyata bagi UMKM dalam menghadapi tantangan di tengah kondisi saat ini, khususnya dalam membuka peluang memasarkan produk di Australia.
Tantangan Ekspor
Erik Hidayat mencatat sejumlah tantangan bagi pelaku UMKM untuk bisa menembus pasar dunia, khususnya ke Australia. Tantangan tersebut meliputi:
Pertama, regulasi yang membatasi, yakni PP No 7/2021 Membatasi produk UMKM dengan omset maksimal 50 miliar per tahun. Dampaknya UMKM tidak mendapat subsidi dan bantuan khusus untuk ekspor dan LPEI ragu membiayai ekspor UMKM. Untuk ekspor produk UMKM 50 miliar per tahun itu jumlah yang sedikit.
Kedua, persyaratan standar dan mutu sangat ketat. Produk UMKM Indonesia harus memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh pemerintah Australia, seperti HACCP, AQIS, dan Halal, yang membutuhkan investasi dan pengetahuan khusus.
Ketiga, persyaratan kemasan yang kompleks. Kemasan produk harus menarik, informatif, dan memenuhi standar Australia, seperti penggunaan bahasa Inggris dan label yang jelas, yang membutuhkan desain dan pencetakan yang berkualitas.
Keempat, biaya logistik yang tinggi. Biaya logistik untuk ekspor produk ke Australia masih tergolong tinggi, terutama untuk produk UMKM yang umumnya memiliki volume kecil, yang dapat membebani biaya produksi dan harga jual.
Kelima, kurangnya informasi dan akses pasar. Kurangnya informasi tentang pasar Australia, regulasi terkait ekspor, dan distributor potensial, serta akses ke platform e-commerce dan jaringan distribusi, yang dapat menghambat UMKM dalam menjangkau konsumen Australia.
Keenam, kapasitas produksi yang terbatas. Kapasitas produksi UMKM Indonesia masih terbatas untuk memenuhi permintaan pasar Australia yang besar, terutama untuk produk yang populer, yang membutuhkan peningkatan skala produksi dan investasi di bidang manufaktur.
Sementara menurut Kumba Digdowiseiso, ada pula tantangan lain yakni adanya kecenderungan harga komoditas yang turun, yang mengharuskan Indonesia untuk diversifikasi sumber pertumbuhan.
Kemudian climate change dan tuntutan bagi perusahaan untuk mengelola sektornya dengan “berkelanjutan.” Dalam hal ini, OJK telah menetapkan ESG (environment, social and governance) Corporate Sustainability Report pada tahun 2020.
Technological disruption juga mempengaruhi cara produksi, berdagang, membeli, menjual, dan perilaku konsumen. Serta tantangan terkait changing nature of GVC.
Semua tantangan tersebut bisa diatasi dengan langkah tertentu baik di level pemerintah, maupun di level UMKM.
Dalam konteks memaksimalkan ekspor ke Australia, menurut Erik Hidayat, pemerintah perlu memberikan bantuan dan pendampingan kepada UMKM dalam memenuhi standar dan mutu produk, regulasi terkait ekspor, dan sertifikasi yang diperlukan.
Pemerintah juga perlu meringankan biaya logistik dengan subsidi atau negosiasi tarif angkutan. Kemudian, perlu mengadakan pelatihan dan workshop untuk meningkatkan pengetahuan UMKM tentang pasar Australia, regulasi ekspor, dan strategi pemasaran.
Selanjutnya, pemerintah harus membantu UMKM dalam membangun jaringan dengan distributor dan importir di Australia. Kemudian, mempromosikan produk UMKM Indonesia di pameran dagang internasional di Australia.
Sementara solusi di level UMKM, menurut Erik Hidayat, pelaku UMKM perlu meningkatkan kualitas produk, kemasan, dan desain produknya sesuai standar Australia. Juga perlu memperkuat branding dan promosi produk dengan identitas dan nilai yang unik.
Pelaku UMKM bisa memanfaatkan platform e-commerce dan media sosial untuk menjangkau konsumen
Australia serta berpartisipasi dalam pameran dagang internasional.
Meraih Sukses di Negeri Kanguru
Banyak pelaku UMKM menanyakan tentang apa saja jenis produk yang berpotensi dipasarkan di Australia.
Menurut Erik Hidayat, jenis produk berpeluang ekspor ke Australia antara lain: produk kerajinan (batik textiles, wood carvings, pottery), makanan unik (unique food sperti spices, sauces, snacks, sweets for Aussies looking for exotic flavors), furniture dan dekorasi rumah tangga (kerajinan rotan, jati, bambu), fashion (baju, sepatu, tas, aksesoris), serta produk pertanian (kopi, rempah, buah tropis, kelapa dan turunannya).
Senada dengan Erik Hidayat, Alicia Meinar Martino merekomendasikan agar pelaku UMKM mengekspor produk ke Australia dengan merujuk apa yang digemari masyarakat Australia.
Chef & Owner Sendok Garpu Restaurant Brisbane dan sekaligus Perwakilan Diaspora yang telah mendahului meraih sukses di Australia ini, merekomendasikan beberapa produk yang diminati berdasarkan gaya hidup dan kebiasaan orang Australia (misalnya gemar minum bir dan ngemil kacang). Dalam hal ini, Alicia merekomendasikan kuliner khas Indonesia, misalnya keripik singkong, keripik talas.
Alicia juga merekomendasikan produk-produk kecantikan karena orang Australia menyukai kulit yang eksotis. Kemudian juga produk kopi, kuliner dengan bumbu khas Indonesia, batik, serta furniture.
Bagi pelaku UMKM, ada beberapa kabar menarik ditawarkan Alicia Meinar Martino. Baru-baru ini Alicia sedang melakukan kurasi produk-produk ada saja yang bisa di pasarkan melalui Sendok Garpu Restaurant Brisbane. Upaya ini diharapkan bisa menjadi “display” produk khusus UMKM Indonesia.
Untuk merealisasikan harapannya, Alicia Meinar Martino mengharapkan dukungan semua pihak, khususnya agar UMKM memastikan setiap prasyarat yang diperlukan mulai dari legalitas, kualitas, maupun kuantitas sehingga siap mengeskpor produknya.
Apa yang dilakukan Alicia Meinar Martino bisa menjadi solusi nyata bagi UMKM yang masih bingung mulai dari mana dan meski menghubungi siapa dalam memulai memasarkan produk ke Australia.
Sumber: Solusi Konkret UMKM Sukses Raup Cuan di Negeri Kanguru (netralnews.com)